Jurnal Pemulihan Stroke: Dari Lumpuh ke Langkah Pertama Bersama Tongkat
Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)
Pejuang stroke, penulis kehidupan
🗓 8 Mei 2025: Hari Semesta Berputar
Hari itu, tubuh saya menjadi ruang hening.
Saya tidak jatuh... saya dilumpuhkan.
Tiba-tiba, dunia seolah berputar tanpa kendali. Saya terkena vertigo sentral akibat stroke. Tubuh saya kehilangan kendali seperti saklar hidup yang dimatikan sepihak. Lengan, kaki, dan bahkan lidah terasa bukan milik saya. Saya tahu, hidup saya berubah selamanya mulai saat itu.
Saya tidak hanya kehilangan keseimbangan. Saya kehilangan kepercayaan diri, kemerdekaan bergerak, dan rasa bahwa saya bisa mengurus diri saya sendiri.
Saya dirawat. Diperiksa. Didiagnosis.
Dan dalam kesunyian ranjang itu, saya bertanya:
"Apakah aku akan bisa berjalan lagi?"
🛏 Hari-hari Pertama: Sunyi, Sakit, dan Selamat
Pemulihan bukan seperti di film. Tidak dramatis.
Kadang justru terasa seperti menunggu jam pasir yang tidak mengalir.
Hari-hari pertama adalah pertarungan dengan rasa malu.
Malu harus disuapi. Malu harus dibantu buang air. Malu merasa beban.
Tapi istri saya — cahaya di saat redup — tak pernah mengeluh.
Ia memeluk saya, menyuapi saya, dan lebih penting lagi: meyakinkan saya bahwa saya masih berharga.
🧠 Minggu Kedua: Otak Belajar Ulang, Bukan Hanya Otot
Saya mulai terapi.
Gerakan kecil menjadi ritual sakral: menggenggam, mengangkat jari, mengayunkan kaki.
Semuanya terasa seperti belajar hidup dari nol.
Saya mulai belajar bahwa pemulihan bukan hanya di tubuh — tapi di jiwa.
Otak saya bukan rusak, ia hanya mencari jalur baru.
Dan saya harus percaya bahwa saya bisa menuntunnya.
🚶♂️ 3 Juni 2025: Tongkat Pertama, Langkah Baru
Hari ini saya berjalan. Dengan tongkat.
Dan itu adalah kemenangan terbesar saya.
Bukan karena saya kuat. Tapi karena saya tidak menyerah.
Tongkat ini bukan simbol kelemahan. Ini senjata.
Dengan tongkat ini, saya menolak diam.
Dengan tongkat ini, saya memilih bergerak.
Saya berjalan meski pelan.
Saya berdiri meski gemetar.
Saya hidup... meski sebelumnya sempat putus asa.
❤️ Refleksi: Hidup Itu Anugerah, Sekecil Apa Pun Gerakannya
Saya tak lagi ingin buru-buru.
Setiap langkah adalah doa.
Setiap gerakan adalah syukur.
Saya belajar bahwa istri bukan hanya pasangan, tapi sahabat seperjuangan.
Bahwa waktu bersama anak bukan tugas, tapi berkah.
Dan bahwa berjalan — sekadar berjalan — adalah karunia.
📖 Pesan untuk Sesama Pejuang Stroke
-
Jangan ukur dirimu dengan kecepatan orang lain.
-
Jangan malu menggunakan alat bantu. Itu alat penyambung harapan.
-
Jangan putus asa hanya karena hari ini terasa berat. Mungkin besok tubuhmu masih lemah, tapi hatimu akan lebih kuat.
-
Jangan lupa tersenyum. Itu terapi juga.
Hari ini saya hidup. Esok, saya ingin menari lagi — walau pelan.
Dan bila Tuhan izinkan, saya akan terus menulis, berbicara, dan menjadi saksi bahwa stroke bukan akhir.
Hanya titik koma, sebelum kalimat kehidupan dilanjutkan.
Tongkat Pertama, Langkah Ke Seribu
Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)
untuk para pejuang stroke, dan semua yang pernah hampir menyerah
Aku ingat tanggal itu,
Delapan Mei, jam tak lagi penting —
segalanya runtuh seperti tubuhku,
dan dunia memutar seperti ingin melemasku ke tanah.
Vertigo?
Bukan hanya pusing.
Tapi semesta terasa menolak keberadaanku.
Aku bukan sedang sakit.
Aku dilumpuhkan.
Bukan hanya oleh stroke,
tapi oleh rasa takut jadi beban,
oleh kesunyian yang bahkan tidak bisa aku ucapkan.
Tanganku seperti bukan tanganku,
kakiku... diam bagai batu yang dulu pernah hidup.
Dan aku,
terbaring dalam ranjang pertanyaan:
"Apakah aku masih bisa berdiri untuk hidupku sendiri?"
Tapi lihat aku sekarang.
Tiga Juni.
Dengan satu tongkat,
aku menjejakkan kaki pertama dari ribuan langkah berikutnya.
Tongkat ini bukan simbol kelemahan.
Ini bendera.
Ini panji kemenangan dalam perang yang sunyi.
Setiap getar di tangannya adalah gema dari doa,
dari istri yang menyuapiku pelan,
dari anak yang memelukku dengan diam-diam,
dari diriku sendiri —
yang masih percaya bahwa hidup belum selesai.
Jangan katakan padaku: "Cepat sembuh."
Karena ini bukan tentang cepat.
Ini tentang bertahan.
Aku tidak sedang belajar berjalan.
Aku sedang belajar kembali menjadi manusia,
yang utuh — meski patah,
yang lambat — tapi tidak berhenti.
Sebab yang hilang mungkin kekuatan,
tapi yang lahir adalah kesadaran:
betapa agungnya satu langkah,
betapa indahnya satu genggam nasi,
betapa berharganya satu pelukan.
Dan hari ini,
aku tidak malu membawa tongkat.
Sebab lebih baik bertongkat dan bergerak,
daripada duduk tanpa nyawa sambil memimpikan masa lalu.
Aku bukan bekas orang kuat.
Aku orang baru —
yang lebih kuat karena tahu rasanya hancur,
dan tetap memilih bangkit.
Catatan untuk semua yang membaca:
Jika kau melihat seseorang berjalan perlahan dengan tongkat, jangan kasihanilah dia. Hargailah dia. Mungkin ia sedang menulis puisi di setiap langkahnya.