Apa Yang Terjadi Saat Karyawan Kena Stroke

Jeffrie Gerry
1

 


"Tertawa Saat Stroke, Menangis Saat Gajian"

(Puisi Monolog oleh Jeffrie Gerry / Japra)

Aku stroke.
Katanya, itu takdir yang memutus kontrak kerja, bukan Tuhan.

Tapi aku tahu, ini bukan hukuman — ini penyucian.
Sakitku datang bukan untuk membunuh,
Tapi membakar kerak dunia dari hatiku yang dulu sempat ikut sibuk mengejar remah-remah status.

Di ujung ranjang rumah sakit,
aku tertawa pelan,
sambil menghitung berapa kali bosku jajan kopi seharga obat obatan ku :

ini obat saya : clopidrogel 75 mg,bisoprolol2.5 mg,piracetam 1200mg,atorvastatin 20mg,aspiletchew 80 mg,irbesasartan 150mg,seharga 1 Gelas kopi yang ditengaak boss dan seharga 2 buah kue pie yang dimakanya dan setelah kafe tutup jam  sembilan malam dilanjutkan dengan warung roti bakar 24 jam di sebuah tempat, begadang sampai jam 4 subuh, tidur dan bangun jam 11 siang datang ke tempat kerja , ngobrol tentang selangkangan  perempuan, lalu  marah marah , cari alasan efisiensi  dan pecat orang lagi, di bagian ku dari 11 orang semua sudah di pecat tinggal 1 orang perempuan saja itu pun ketakutan dan ingin keluar kerja

"Maaf, kamu kami lepas, kamu sudah tak berguna," katanya.
Padahal aku cuma minta waktu sembuh,dan tidak lama nyatanya 52  hari kemudian saya bisa gerak, dan saya tidak minta gaji saya selama sakit, karena saya tahu saya tidak kerja, tapi malah di putus hubungan kerja sepihak, padahal dulu boss yang ajak ajak saya untuk kerja di perusahaanya, bukan saya melamar
bukan minta saham perusahaan.

Gajiku kecil. Tapi cukup untuk membeli satu: harga diri.
Meski sekarang,
harga diriku disamakan dengan nota cappuccino double-shot-nya boss setiap Malam di Cafe.

Ah, betapa tragis...
betapa absurd.

Aku justru kasihan pada bosku.
Bukan karena dia memecatku,
Tapi karena ia tak tahu
bahwa uang yang ia habiskan untuk foya-foya
tak bisa membeli tidur nyenyak,
apalagi rasa bersalah yang dibungkam dengan sarkasme, dari karyawannya yang di tindas.      

Kini aku menulis,
dengan tangan yang gemetar, tapi hati yang kokoh.
Aku tak punya uang,
tapi aku punya waktu dan kata —
yang bisa membangun dunia baru dalam pikiranku,
tempat manusia dipandang bukan dari sehatnya badan,
tapi dari kuatnya iman.

Jadi, jangan ucapkan belasungkawa padaku.
Ucapkanlah pada sistem yang menolak manusia demi efisiensi.

Aku tertawa hari ini.
Bukan karena tak sedih,
Tapi karena aku tak sudi jadi korban dua kali —
korban penyakit, dan korban mentalitas foya-foya.


 

Satir Stroke: Tertawa di Tengah Derita

Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)

Pengantar:
Tanggal 8 Mei, tubuhku mendadak berkonspirasi.
Stroke datang tanpa izin, membawa serta vertigo sentral,
melumpuhkan bukan hanya kaki, tapi harapan yang digantungkan pada gaji bulanan.
Namun aku tidak menyerah. Aku tidak menangis. Aku menulis.
Dan aku tertawa—di antara nyeri, ngilu, dan absurditas dunia yang lebih sakit dari otakku yang berdarah.


I. Babak Lumpuh, Babak Tertawa

Pada pagi itu, aku tidak bangun sebagai pejuang,
tapi sebagai statistik—
satu dari sekian ribu korban stroke yang tidak sempat jadi headline.
Tubuhku rebah,
tapi pikiranku justru terbang bebas
—ke tempat absurd bernama realitas.

"Sudah gak produktif, ya?" tanya HRD dengan nada gula sintetis.
"Kami doakan lekas sembuh, tapi mohon maaf... kamu kami lepas."

Dilepas?
Seperti balon di ulang tahun anak bos yang dibiayai dari lemburanku?
Seperti penghapus yang sudah pendek dan tidak bisa dipakai?
Seperti loyalitas yang tak lagi relevan karena darahku tak bisa dialirkan ke mesin absen?

Mereka bilang: "Jangan ambil hati."
Padahal aku hanya punya itu sekarang—hati dan tongkat.


II. Tongkat dan Tikungan Nasib

Kini aku berjalan tertatih,
tapi lebih lurus daripada jalan moral atasan yang suka flexing di Instagram.
Satu tongkat, satu langkah, satu doa.
Kadang sambil cek saldo BPJS, kadang sambil tanya Tuhan:
“Apakah aku gagal atau Engkau sedang menulis plot twist?”

Setiap tikungan adalah ujian sabar,
setiap naik tangga adalah seminar motivasi gratis.
Dan setiap kali aku melihat bosku di TV
—pakai dasi, bicarakan tanggung jawab sosial perusahaan—
aku ingin mengirim foto tongkatku
dan bilang: "Ini juga hasil sosial, Pak."


III. Puisi untuk Gaji yang Hilang

Gaji, oh gaji…
Kau bukan hanya angka. Kau adalah oksigen.
Tanpamu, obat tidak ditebus,
tanpamu, nasi tinggal angan.
Tapi perusahaan bilang:
“Kami sedang efisiensi, maaf ya, semoga sehat.”

Efisiensi?
Apa itu nama kode untuk membayar influencer ketimbang karyawan?
Atau nama samaran untuk mengusir yang sakit demi laba saham?

Aku tidak kecewa, aku justru terhibur.
Karena nyatanya, di tengah stroke pun,
aku bisa membuat puisi.
Sedangkan mereka?
Tak bisa membuat kemanusiaan.


IV. Saat Tertawa Menjadi Terapi

Dokter menyarankan fisioterapi.
Tapi aku memilih terapi yang lebih murah: tertawa.

Tertawa saat tahu uang pensiun habis buat bayar infus.
Tertawa saat tahu daftar obatku lebih panjang dari kontrak kerja.
Tertawa saat bosku update story di Bali,
sementara aku update tekanan darah.

Aku menulis status:

"Hari ini belajar berdiri lagi.
Terima kasih stroke, telah mengajarkanku arti jatuh."

Lalu seseorang komen:

“Semangat ya! Saya suka tulisannya.”

Aku tersenyum.
Ternyata sakitku tak sia-sia jika satu orang saja bisa merasa dikuatkan.
Luka tak selalu harus ditutupi,
kadang justru jadi panggung bagi kekuatan yang tak bisa dijelaskan.


V. Doa untuk Mereka yang Sehat Tapi Sakit

Hari ini, aku berdoa,
bukan untuk cepat sembuh,
tapi untuk tidak berubah jadi mereka yang sehat secara fisik
tapi mati rasa.

Aku berdoa agar tetap bisa tertawa,
agar bisa menulis puisi walau dengan tangan kiri,
agar tetap melihat cahaya meski lewat celah tirai rumah sakit.

Dan aku berdoa juga untuk bosku—
semoga suatu hari nanti ia tersandung egonya
dan mendapati bahwa kemewahan tak bisa membayar rasa malu
karena melupakan kemanusiaan.


VI. Belajar dari Stroke: Modul Kehidupan

Stroke adalah guru.
Ia mengajarkanku bahwa:

  • Waktu adalah emas,
    kecuali kau sedang antri di IGD, maka emas adalah oksigen.

  • Teman sejati bukanlah mereka yang komen "cepat sembuh",
    tapi yang datang dan diam menemani.

  • Uang penting,
    tapi tak akan bisa membeli langkah pertama
    setelah kau lumpuh.

Aku belajar mencintai ulang diriku.
Yang lambat, yang rapuh, yang sabar.
Yang bangkit bukan karena dipaksa,
tapi karena tahu:

"Tertatih bukan kalah. Lambat bukan gagal."


VII. Penutup: Puisi Adalah Tongkat Kedua

Kini aku punya dua tongkat:
Satu kayu, satu kata.

Tongkat kayu menopang tubuhku,
tongkat kata menopang jiwaku.
Dan selama aku masih bisa menulis,
selama aku masih bisa menertawakan derita
tanpa menolak pelajaran di dalamnya—
aku tahu, aku belum kalah.

Dunia boleh melumpuhkan kakiku,
tapi tidak akan pernah bisa melumpuhkan hatiku.


Refleksi Penutup:

Jika ada satu hal yang stroke ajarkan padaku,
itu adalah:
Batas bukan akhir.
Sakit bukan musibah, tapi metamorfosis.
Dan tertawa di tengah derita adalah pemberontakan paling agung terhadap dunia yang terlalu serius.

Post a Comment

1Comments

Post a Comment